
“Barat tempatmu bergantung,
Telah menipu otakmu dan menyihir jiwamu
Barat tempatmu bergantung telah menipu dirimu
Sekali dengan bujuk halus dan rayuan
Sekali dengan belenggu dan jeratan”
(Mohammad Iqbal)
Akhir-akhir ini
berkembang (dikembangkan) pemahaman-pemahaman Islam yang membingungkan.
Muncul sebuah istilah yang sepintas lalu seolah-olah benar, padahal
mempunyai makna yang salah atau kacau. Misalnya istilah Islam Anti
Kekerasan, Islam Membebaskan, Islam Inklusif dan lain-lain. Kemunculan
istilah ini dipahami sebagian kalangan Islam sebagai propaganda Barat
untuk memecah belah umat Islam. Sementara sebagian yang lain menganggap
hal itu adalah sebagai khazanah umat Islam atau wacana kebebasan Islam.
Untuk memahami istilah ini perlu perenungan
yang mendalam terhadap kebenaran istilah ini karena penggunaan istilah
ini seringkali digunakan kalangan tertentu (biasanya didukung para
orientalis) untuk merendahkan atau member stigma kepada kelompok Islam
lainnya. Sehingga dikampanyekan istilah-istilah Islam Garang, Islam yang
membelenggu, Islam Radikal, Islam Garis Keras, Islam Militan dan
semacamnya.
Kita akan menelisik beberapa istilah yang
membingungkan itu. Penggunaan Islam anti kekerasan misalnya, sebenarnya
sangat tidak tepat karena Islam kenyataannya mengajarkan kekerasan,
contohnya ajaran jihad dalam Islam. Seperti kita ketahui, jihad
diwajibkan ketika sebuah wilayah kaum Muslimin dijajah, penduduknya
diusir atau dianiaya. Maka penggunaan kekerasan dengan fisik (jihad)
melawan ‘penzalim’ dalam Islam bukan saja dibolehkan bahkan wajib
dilakukan. Contohnya kewajiban jihad penduduk Palestina kepada Israel
atau penduduk Islam Maluku dan sekitarnya Ketika mereka diserang kaum
Nashrani bulan Januari 1999. Begitu juga kaum Muslimin di Irak, Moro,
Pattani, Chechnya, Bosnia, Afghanistan dan lain-lain yang diserang
secara militer (fisik) oleh penguasa-penguasa kafir. Begitu juga Bapak
diperbolehkan menggunakan ‘kekerasan’ kepada anaknya ketika usianya 10
tahun tetap bandel tidak mau shalat. Jadi Islam bukanlah anti kekerasan,
tapi Islam mengatur kekerasan sebagaimana hukum-hukum lain yang ada di
dunia ini juga mengatur penggunaan kekerasan.
Sangat tidak lucu bila sebuah masyarakat yang
penduduknya diperangi, mereka kemudian berdiam diri tidak mengadakan
pembalasan yang setimpal. Dalam hal ini perlu diteladani ketika ulama
besar India, Abul Hasan an Nadwi mengritik keras gerakan tokoh anti
kekerasan Mahatma Gandi di India. Kata Nadwi,”Seruan Gandhi tak lebih
dari debu tak berarti di tengah bentrokan-bentrokan antar golongan yang
hebat di Punjab Timur dan New Delhi bulan September 1947, yang meminta
korban lebih dari setengah juta jiwa kaum Muslimin melayang dalam
pembantaian kejam dan biadab…Semua kegagalan Gandhi ini menunjukkan
bahwa cara perbaikan masyarakat yang diserukan Nabi adalah cara yang
tepat, sesuai dengan naluri manusia.” (an Nadwi, 1988: 126-127).
Dalam ilmu politik Barat, kekerasan atau
perang itu justru harus dipersiapkan agar masyarakat dapat damai. Dalam
teori “Balance of Power”, seperti pendapat pakar politik J Morgenthau,
dikatakan bahwa Negara-negara di dunia ini bila ingin damai harus
membuat kekuatan militer yang seimbang. Dengan keseimbangan kekuatan
militer (perang) itu, Negara yang satu akan berpikir ulang untuk
melakukan invasi (menzalimi) Negara lain secara semena-mena. Perang
seringkali terjadi karena ada anggapan bahwa kekuatan militer yang lain
dianggap tidak seimbang (lebih lemah). Di sini kita lihat bagaimana
liciknya politik Amerika yang tidak mau keseimbangan nuklir terjadi di
dunia (khususnya Negara-negara Islam).
Kita melihat juga dalam sejarah manusia
perang/’kekerasan liar’ –sebagaimana kejahatan kejahatan (setan)- tidak
pernah berhenti. Benarlah firman Allah SWT:
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu
tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi
sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu,
padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak
mengetahui.” (al Baqarah 216)
Dalam sejarah Nabi Muhammad saw kita melihat
bagaimana beliau dan sahabat-sahabatnya puluhan kali berperang dengan
kaum kafir yang menzalimi umat Islam. Karena itu, Rasulullah dalam
beberapa hadits, menganjurkan umatnya agar belajar latihan perang,
seperti berkuda (berkendaraan), memanah (menembak) dan berenang. Banyak
juga ayat Al Qur’an dan Hadits yang memberikan teladan tentang
aturan-aturan perang (pembunuhan).
Di sisi lain, ketika Islam begitu bersemangat
mengajarkan jihad dan peperangan, di saat yang sama Islam juga sangat
menganjurkan perdamaian atau toleransi. Rasulullah mengajarkan bila
orang-orang kafir tidak menzalimi umat Islam atau tidak melakukan
peperangan, maka umat Islam juga siap berdamai. Dalam sejarah, kita baca
tentang berbagai perjanjian damai yang dibuat beliau, seperti
Perjanjian Hudaibiyah, Piagam Madinah dan lain-lain.
Nabi terakhir ini juga mengajarkan toleransi
yang tinggi kepada umatnya. Banyak hadits menceritakan tentang kunjungan
Nabi saw kepada orang Yahudi ketika sakit, bersedianya Nabi makan di
rumah orang kafir, sedekah Nabi kepada tetangganya yang kafir dan
lain-lain. Toleransi (tasamuh) yang tinggi umat Islam itu telah
ditorehkan sejarah islam, termasuk dalam sejarah Perang Salib
sebagaimana dinyatakan sejarawan Karen Armstrong. Kita melihat juga Al
Qur’an sangat melarang pembunuhan kepada manusia tanpa alasan yang
benar. Firman Allah SWT:
“…barangsiapa membunuh seseorang, bukan
karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat
kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia…” (al Maidah 32)
Jadi sifat keras dan halus secara bersama-sama diajarkan Islam. Disinilah justru letak keistimewaan atau keeksklusifannya. Islam
secara bersama-sama mengajarkan kekerasan dan perdamaian. Tergantung
situasi yang dihadapinya. Seorang Muslim akan kelihatan radikal
militant, atau garang ketika islam atau umat Islam dizalimi musuhnya. Ia
akan kelihatan toleran atau halus, ketika menjenguk temannya non Islam
yang sakit. Akan kelihatan lebih “halus lagi”, ketika ia tunduk
serendah-rendahnya, bersujud shalat tahajud kepada Rabbnya di malam hari
atau air matanya meleleh deras ketika mendengar ayat-ayat tertentu
dalam Al Qur’an.
Istilah lain yang cukup menganggu adalah
istilah islam yang membebaskan. Bila kita merenung dan mengkaji secara
mendalam terhadap Islam, maka Islam sebenarnya secara bersama-sama
membebaskan dan mengikat pemeluknya. Islam memang membebaskan berfikir
bagi manusia, selama pemikirannya tidak menyimpang dari aturan Allah
(dari nash-nash Al Qur’an dan Hadits yang qath’i). Islam membebaskan
manusia berkreasi seluas-luasnya dalam ilmu dan teknologi. Islam juga
mengharapkan kemandirian manusia, membebaskan manusia dari ketundukan
atau ‘perbudakan’ manusia lainnya karena berprinsip ketundukan hanyalah
kepada Allah yang menciptakannya.
Tapi tidak dipungkiri, Islam juga mengikat
seorang Muslim dengan kewajiban shalat, puasa, zakat, menutup aurat dan
lain-lain. Hal ini sebenarnya logis, sebagaimana juga hukum-hukum
manusia selain memberikan kebebasan juga membuat aturan-aturan baik
individu maupun masyarakat. Bahkan kadang lebih “ketat” lagi seperti
kita lihat sekarang aturan penghormatan bendera, protokoler
presiden/menteri, aturan memakai seragam/helm dan lain-lain. Dalam
menghukum, seringkali ‘hukum manusia’ lebih ganas dan tidak adil,
pencuri 10 juta (motor) dibakar hidup-hidup, sedangkan pencuri trilyunan
rupiah dibebaskan berkeliaran bahkan diberi tambahan modal baru.
Kelebihan Islam, aturan-aturannya mengandung
butir-butir hikmah yang besar bagi manusia. Para ulama banyak menulis
kitab tentang hikmah-hikmah positif syariat Islam itu: hikmah shalat,
hikmah menutup aurat, hikmah puasa, hikmah hukum qishash dan lain-lain.
Dengan kata lain, ketika seorang Muslim menjalan aturan Islam (syariat
Islam), ia tidak merasa dibelenggu sebagaimana menjalankan banyak hukum
manusia. Justru ia merasa tentram atau tenang karena ia menjalankan
aturan-aturan dari Sang Pencipta dan Sang Maha Tahu.
Al Quran sendiri dengan teks yang jelas,
member kebebasan bagi seorang manusia, mau menjadi Muslim atau menjadi
kafir. Masing-masing dengan konsekuensinya. Al Quran menegaskan bila
seorang menjadi Muslim maka akan masuk surga dan bila ia memilih kafir
maka ia akan masuk neraka di akhirat nanti. Dan Allah SWT tidak akan
menzalimi hamba-Nya.
Kata-kata kebebasan –yang dipropagandakan
Barat untuk melawan keterikatan kepada agama- memang seolah-olah indah
dan di dalam katanya mengandung makna kebahagiaan. Tapi benarkah
ideology kebebasan secara otomatis akan membahagiakan manusia?
Kenyataannya justru sebaliknya. Kebebasan (Barat) justru membawa banyak
kesengsaraan manusia lainnya. Misalnya kebebasan seks, berselingkuh dan
‘hidup bebas tanpa nikah’, homoseksual, ternyata menyebabkan
kesengsaraan dan kehancuran rumah tangga, liarnya kehidupan remaja,
merebaknya penyakit aids, hilangnya kepekaan social dan lain-lain.
Kebebasan pergaulan menyebabkan anak kena narkoba dan tawuran. Kebebasan
minuman beralkohol menyebabkan kerusakan otak dan akhlak. Kebebasan
internet menyebabkan banyak remaja kecanduan games dan pornografi.
Kebebasan perdagangan yang dipropagandakan
Barat malah justru merugikan atau kadang ‘memeras’ kekayaan negara
berkembang, menghambat kemakmuran negara berkembang dan memperbanyak
kematian penduduk negara-negara miskin karena kelaparan dan lain-lain.
Kebebasan memelihara anjing yang berlebihan menyebabkan orang-orang di
Barat lebih semangat mengeluarkan uang untuk makanan dan kesehatan
anjing daripada mengeluarkan bantuan untuk orang-orang miskin di
negara-negara berkembang. Kita menyaksikan bagaimana kebebasan mode
berpakaian justru mengakibatkan banyaknya pelacuran. Banyak anak gadis
melacur untuk mendapatkan uang sekedar untuk membeli mode pakaian
terbaru, handphone dan hiburan-hiburan kebahagiaan semu. Di samping itu
juga pikiran mereka menjadi terbelenggu (tidak nyaman) karena selalu
dituntut tampil ke publik harus cantik fisik selaras dengan
dikampanyekannya fashion show atau tepatnya body show.
Pertanyaannya, manakah yang dicari manusia
(Muslim) sebenarnya, kebebasan atau kebahagiaan? Jawabannya tentu dalam
hidup ini manusia mencari kebahagiaan. Kebebasan kadang
menjadi sarana dan kadang jadi penghambat. Oleh karena itu yang tepat
Islam itu menentramkan atau membahagiakan manusia bukan membebaskan
manusia. Jadi kebebasan itu ternyata tidak selamanya membuat manusia
menjadi tenteram atau bahagia, malah seringkali membuat manusia menjadi
sengsara.
Kita dapati dalam sejarah banyak ulama yang
dipenjara, dibelenggu kebebasannya, tapi hidupnya tetap tenang dan
tenteram. Ibnu Taimiyah, Sayid Qutb dan Hamka mengukir karya-karya
besarnya ketika berada di terali besi.
Setelah meneliti berbagai pendapat filosof
tentang arti bahagia, Ulama Besar Haji Abdul Malik Karim Amrullah
(Hamka), menyatakan bahwa manusia berbeda-beda dalam memimpikan
kebahagiaan. Si miskin menganggap si kaya yang bahagia. Orang bodoh
menganggap si Pintar yang bahagia. Orang bujang memimpi orang nikah
bahagia. Tapi kenyataannya tidak demikian. Kadang si kaya melihat si
miskin yang bahagia. Ia merasa tidak bahagia karena selalu khawatir
hartanya dirampas orang. Orang yang menikah merasa tidak bahagia karena
waktunya terbelenggu keluarganya dan seterusnya. Maka dari itu, Buya
Hamka menasihatkan,”Bertambah luas akal, bertambah luaslah hidup,
bertambah datanglah bahagia. Bertambah sempit akal, bertambah sempit
pula hidup, bertambah datanglah celaka. Oleh agama, perjalanan bahagia
itu telah diberi berakhir. Puncaknya yang penghabisan ialah kenal akan
Tuhan, baik makrifat kepadaNya, baik taat kepadaNya dan baik sabar atas
musibahNya. Tidak ada lagi hidup di atas itu.”
Hal itu senada dengan firman Allah SWT,
“Dan barangsiapa menaati Allah dan
RasulNya, maka sungguh dia menang dengan kemenangan yang agung
(kebahagiaan di atas kebahagiaan).” (al Ahzab 71).
Walhasil ada udang dibalik batu dalam sebuah istilah. Dan jangan terbujuk dengan ‘kehalusan politik bahasa’. Wallaahu a’lam.






0 komentar: