5.16.2014

Filsafat Sebagai Warisan Islam



Telah menjadi Ittifaq para ahli bahwa filsafat dengan manhajburhani-nya (rasionalitas) merupakan salah satu warisan berharga nalar Islami, selain bayani (fiqih), dan irfani (tasauf).[1] Bagi Hasan Hanafi, ini merupakan turats berharga yang sangat sukses mempertahankan eksistensi ajaran Islam, disamping Ilmu Kalam, Ushul Fiqh, dan Tasauf. Lebih lanjut, menurut Hanafi, meskipun Ilmu Kalam mirip dengan filsafat dan merupakan tradisi berpikir warisan Islam yang agung namun filsafat memiliki kelebihan sendiri, diantara kelebihan tersebut–dengan bahasa yang dipersingkat—adalah :
  1. Merubah teologi menjadi ontologi. Di sini filsafat tidak hanya berbicara tentang Tuhan tetapi tentang wujud secara umum.
  2. Tidak membutuhkan metode nash yang dominan dalam  ilmu kalam. Filsafat telah menancapkan rasionalisme Islam yang independen disamping kalam yang menunjukan kebenarannya dari formulasi makna-makna wahyu.
  3. Filsafat telah mengungkapkan dimensi misteri dalam nash agama, stile-stile imaginer dan bentuk-bentuk seni, kemudian ia melompat menuju metaimaginasi yang membebaskan dirinya dari bentuk-bentuk seni dan menghancurkan keharfiahan makna.
  4. Melepaskan dari bahasa teologi yang tertutup dan tunduk pada rumus keagamaan, menuju jalan rasional, terbuka, dan humanis.
  5. Filsafat mampu menggabungkan teori-teori yang berserakan yang ditinggalkan ilmu kalam.
  6. Filsafat telah menghapuskan keterpecah belahan firqah-firqah menjadi semangat yang tunggal dominan.
  7. Filsafat mencerminkan ufuk yang lebih luas, lebih sempurna dan universal ketimbang ilmu kalam.
  8. Secara prinsip, filsafat berlandaskan pada pembuktian dan membahas kepastian internal, rasional dan natural, sementara ilmu kalam selalu bertumpu pada polemik dan jadaliyah yang lebih bertujuan membungkam lawan daripada mencari kebenaran.[2]
Dengan nalar filsafat, umat Islam dituntut untuk tidak melakukan apologetik dengan kepura-puraan ganda, yakni kebanggaan menyebutkan Islam sebagai agama yang rasional dan menghargai ilmu pengetahuan, namun disisi lain sangat takut atau bahkan marah saat keyakinan agamanya yang doktriner bertentangan dengan hasil-hasil sains yang faktual.
Meskipun demikian, filsafat bukanlah alat untuk menjustifikasi kebenaran atau kesalahan agama, tetapi lebih sebagai alat bantu yang dipertimbangkan untuk dapat menafsirkan agama dengan benar, aktual, dan fungsional. Ini bukanlah usaha apologetis tetapiijtihadis. Dengan cara ini Filsafat akan Memberikan ketelitian manusia dalam berpikir, sehingga berimplikasi memperkuat keyakinan agama dan kebenaran ajaran yang dianutnya.
Salah satu yang menyebabkan tertancapnya akar keyakinan beragama secara kuat adalah paradigma dan ideologi yang dianut. Ideologi pada dasarnya merupakan tumpuan agama yang diperoleh dari pandangan dunia (al-ru’yah al-kauniyah; world view) sebagai poros manusia dalam menafsirkan secara universal keberadaan hirarki wujud semesta.Al-ru’yah al-kauniyah ini sebagai hasil kajian dan penalaran yang memberikan kesimpulan tentang alam jagat raya (makrocosmos), tentang manusia (mikrokosmos), masyarakat dan sejarahnya, diperoleh dari analisis filosofis yang matang yang berasaskan pada epistemologi islami. Ciri-ciri Pandangan dunia yang baik adalah:
  1. Pandangan dunia sbeaiknya berlandaskan pada berbagai argumentasi akal (logika) di samping wahyu.
  2. Pandangan atau proses penafsirannya harus sesuai dengan fitrah manusia dan penciptaan alam.
  3. Selain memiliki nilai, pandangan dunia tersebut juga mengobarkan semangat, harapan, serta rasa bertanggungjawab.
Dengan demikian jelaslah, bahwa nalar filsafat membantu manusia membangun paradigma dan ideologinyaParadigma adalah asumsi-asumsi filosofis yang mendasari suatu bidang peradaban seperti misalnya sains dan teknologi. Dalam sains, paradigma berarti asumsi-asumsi filosofis yang diyakini ilmuan secara umum dalam usaha mengkaji sesuatu. Karena dikatakan sebagi asumsi-asumsi filosofis maka ia mengandung asumsi metafisis, ontologis, epistemologis, aksiologis, visi, bahkan sistem nilai.
Di jurusan lain, jika kita menelusuri ayat-ayat al-Quran yang tersurat, yang tersirat, maupun yang tersuruk, maka, walaupun al-Quran bukanlah kitab filsafat yang diilhami melalui refleksi filosofis, namun tak mungkin pula kita pungkiri bahwa al-Quran memuat unsur-unsur yang filosofis, rasional, dan memancing nalar untuk melakukan fikr yang argumentatif.
Perhatikanlah ayat-ayat berikut ini :
“Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi dan pergiliran malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berpikir. (Yaitu) orang-orang yang senantiasa mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya mereka berkata) : Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka. (Q.S. Ali Imran: 190-191)
“Seandainya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa.” (Q.S. al-Anbiya: 22)
“Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) kamu akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu” (Q.S. Fathir: 43)
“Allah adalah nur bagi langit dan bumi.” (Q.S. Nur: 35)
“Tuhan kami adalah Tuhan yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk” (Q.S. Thaha: 50)
Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika filsafat dikatakan sebagai salah satu model al-Quran berdalil. Bahkan hal ini diperkuat, jika kita merujuk pada pembagian filsafat secara umum, yang dibagi pada dua yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat Teoritis adalah mengkaji sesuatu sebagaimana adanya, sedangkan Filsafat Praktis berarti membahas bagaimana mestinya manusia bertindak, baik secara individu, dalam keluarga maupun masyarakat.
Dengan makna ini, meskipun pada dasarnya filsafat ingin mendapatkan informasi seakurat mungkin tentang wujud, baik itu wajib al-wujud (Tuhan) sebagai sumber keberadaan, maupun mumkin al-wujud (wujud makhluk) sebagai efek keberadaan wajib al-wujud, akan tetapi titik terang pencarian informasi yang benar melalui refleksi filosofis dan bertindak yang benar sejauh amal praktis merupakan ciri khas filsafat dan filosof. (hd/liputanislam.com)
——-
[1] Tentang trilogi nalar islami ini lihat pembahasan komprehensifnya pada karya Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al- Araby: Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah Li al-Nudzumi al- Ma’rifah fi al-Tsaqafah al-Arabiyyah (Beirut: Markaz Dirasah al-Wihdah al-Arabiyyah, 1990).
[2] Lihat, Hasan Hanafi, Turas dan Tajdid  (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2001), hlm. 229-231.

0 komentar: